Kamis, 06 November 2008

Kepiting Kusikat, Bumbu Kudapat

BICARA menu sari laut di Blitar, mungkin tidak ada yang selezat masakan warung kaki limanya Mardi. Warung ini berada di sebelah timur Pasar Legi, deretan paling utara. Sejak buka pukul 17.00 sore, warung tenda ini tak pernah sepi pengunjung. Mardi baru menutup warung bila dagangannya habis; rata-rata pukul 23.00.
Namanya juga sari laut, menu yang ditawarkan macam cumi-cumi goreng, kepiting rebus, kerang rebus, dorang goreng, dan sebagainya. Yang membuat masakan Mardi beda, tentu saja, adalah bumbunya yang sungguh khas. Terutama kepiting asam manisnya. "Manisnya pas, tapi gurihnya tidak hilang," aku Andik, salah satu pelanggan setia Mardi.
Bila menemukan menu sari laut di tempat lain yang tak kalah lezat, bisa jadi pemilik warung itu adalah bekas anak buah Mardi. Ya, beberapa anak buah Mardi yang sudah pintar meracik bumbu memang memilih buka usaha sendiri. Misalnya Arif yang buka warung di Jl Anjasmoro, dan Totok di Jl Kalimantan.
Mardi adalah potret pendatang dari Lamongan yang sukses. Sebelum menempati rumah dua lantainya yang sekarang, dia mengontrak rumah kecil di Jl Semeru barat. Nah, di depan rumah kontrakan Mardi adalah rumah temanku, Warto, yang sekaligus berfungsi sebagai bengkel sepeda. Suatu kali, ketika Warto sibuk menambal ban, tiba-tiba kakinya terasa seperti dicubit. Kaget, dia buru-buru melompat.
Ternyata, si pencubit adalah kepiting sebesar kepalan tangan orang dewasa. Rupanya kepiting itu milik Mardi yang, entah bagaimana ceritanya, lepas dari ikatan. Hewan bercupit itu lantas masuk ke bengkel Warto, karena kebetulan pintu belakangnya terbuka. Teman saya itu berpikir cepat tentang apa yang harus dilakukan terhadap si kepiting. "Dikembalikan sayang, tapi kalau ditangkap untuk apa?" pikirnya.
Detik berikutnya dia dapat ide. Kepiting itu segera ditangkap dengan cara ditutupi kurungan ayam. Maklum, kalau ditangkap dengan tangan, bisa-bisa Warto dicapit. Kepiting berhasil ditangkap, kini tinggal berpikir mencari bumbunya. Kemana? Tak perlu jauh-jauh, tinggal minta pada tetangga belakang rumah, siapa lagi kalau bukan Mardi.
"Saya sudah biasa minta bumbu kepadanya kok Lin. Kalau pas mau bikin nasi goreng," cerita Warto kepadaku. Selanjutnya Warto merebus kepiting temuannya itu, dicampur bumbu 'sumbangan' Mardi. Lima belas menit kemudian masakan matang, dan jadilah malam itu Warto menyantap kepiting asam manis. Benar-benar makyus..., gratis pula. (*)

Istana Gebang, Siapa Mau Beli?

BERITA mengejutkan itu datang April 2008 lalu. Istana Gebang, atau oleh warga Blitar biasa disebut ndaleme Bu Wardoyo, ditawarkan kepada pihak swasta senilai Rp 50 miliar. Lumayan mahal, memang. Namun, untuk rumah bernilai sejarah tinggi karena pernah ditinggali Bung Karno (BK) semasa kecil, harga itu jauh dari sepadan.
Istana Gebang memang tak seelok Istana Negara di Jakarta, Istana Bogor, apalagi Istana Tampaksiring di Gianyar, Bali. Tapi Rumah masa kecil BK di Jl Sultan Agung 56 Blitar, Jatim, ini jelas lebih 'beraura'. Rumah menghadap selatan dengan halaman luas ini meliputi dalem induk yang berdiri megah dengan lima kamar--empat di sisi barat dan satu kamar di sisi timur--, dua ruang ruang tamu di depan dan ruang keluarga di belakang, sederetan kamar pembantu rumah (abdi dalem), kamar mandi, juga garasi mobil.
Selain itu terdapat sedikitnya lima unit rumah pendukung lainnya yang ada di kanan-kiri dalem induk. Di ruang tamu terdapat puluhan benda peninggalan
keluarga BK berupa foto, lukisan, senjata pusaka, dipan kuno, dan sebagainya. Benda-benda itulah yang membuat harga Istana Gebang tidak bisa dinilai. Sebab, dari sana bisa dibaca perjalanan R Soekemi Sosrodihardjo dan Ida Ayu Nyoman Rai Sarimben membesarkan Kusno Sosrodihardjo alias Soekarno hingga remaja.
Sampai kemudian, Soekarno pindah ke rumah Haji Oemar Said (HOS) Tjokroaminoto di Surabaya untuk sekolah di Hoogere Burger School (HBS.). Setelah orangtua BK meninggal, rumah itu didiami Soekarmini (Bu Wardoyo) bersama suaminya Puguh. Soekarmini adalah kakak kandung BK.
Nah, ide menjual Istana Gebang muncul dalam rapat internal keluarga pada 16-17 Juni 2007. Intinya, karena tidak ada perhatian dari Pemkot Blitar, sementara biaya perawatan terus naik, keluarga ahli waris sepakat menjual rumah tersebut. "Hampir semua perwakilan sudah menandatangani kesepakatan untuk menjual, hanya belum dipastikan kepada siapa," beber juru bicara ahli waris Istana Gebang, Bambang Sukaputra.
Tak ayal, rencana melego Istana Gebang ini membuat pemerintah kalang kabut. Walikota Blitar Djarot Saiful Hidayat mengaku siap membeli Istana Gebang andai harganya sesuai dengan nilai jual objek pajak (NJOP) yang berkisar sekitar Rp 7,5 miliar. "Kalau Rp 50 miliar, itu sangat mahal," ujar Djarot, yang berharap pemerintah pusat ikut cawe-cawe memecahkan masalah ini.
Presiden SBY pun secara khusus meminta Menpora Adyaksa Dault turun gunung ke Blitar. Padahal sebelumnya, tidak ada secuil pun perhatian diberikan pemerintah pusat terhadap kediaman BK di masa kecil itu.
"Saya memang bukan anak biologis Soekarno, tapi saya anak ideologis Soekarno, dan saya keberatan dengan rencana penjualan itu," kata Adhyaksa Dault saat berkunjung ke Istana Gebang. Saat itu dia didampingi sejumlah artis ibukota, antara lain Yati Octavia, Pung Harjatmo, Erna Libi, Eksanti, dan Berliana Febrianti.
Beberapa minggu kemudian, Mei 2008, giliran Putri Indonesia 2007 Putri Raemawasti menengok salah satu aset wisata Kota Blitar itu. "Masalah ini sudah didengar semuanya, bahkan Presiden SBY. Harapan utamanya jangan sampai dijual, karena ini merupakan aset sejarah," kata Putri, alumnus SMAN 1 Blitar, yang rumahnya hanya berjarak 1 km dari Istana Gebang. (*)