Kamis, 30 Oktober 2008

Orok-Orok vs Krisis Global

Oleh: Marlin (blogblitar.blogspot.com)



SEKALI waktu mampirlah ke Kelurahan Ngadirejo, Kecamatan Kepanjenkidul, Blitar. Pasti Anda akan melihat pemandangan beda. Teras rumah mayoritas warga kampung itu dipenuhi tumpukan kayu seukuran paha orang dewasa. Ada yang sudah dipelitur, ada juga yang berupa kayu utuhan.
Kayu-kayu itu merupakan bahan kerajinan orok-orok. Apa pula itu? Ini adalah kerajinan khas Blitar yang biasa dibuat suvenir. Disebut orok-orok karena ketika dimainkan berbunyi seperti orok-orok. Bentuknya seperti kendang kecil dan di tengahnya dipasang tali. Untuk memainkannya dengan cara diputar.
Penemu kerajinan unik ini adalah Andri Susanto dan sang paman, Solikin. Asal tahu saja, di Ngadirejo banyak ditemukan pohon mahoni yang ditanam di pekarangan rumah. Itu yang membuat imajinasi Andri tertantang. "Sayang kalau batang mahoni itu tidak dimanfaatkan jadi barang berharga," kata pria 23 tahun ini, suatu kali.
Mengapa memilih orok-orok? Karena Andri dan Solikin yakin suvenir khas itu punya prospek bagus. Ternyata benar. Meski modal utang, usaha kerajinan itu semakin berkembang ketika ada distributor yang bersedia memasarkan. Cara membuat orok-orok cukup mudah. Kayu mahoni yang sudah dibentuk dibor listrik, selanjutnya dihaluskan dan diberi lubang seukuran pulpen. Tahap terakhir adalah penempelan kulit.
Dalam sebulan, rata-rata Andri bisa memproduksi 10 ribu lebih orok-orok. "Butuh ketelatenan untuk membuat orok-orok," terangnya. Sebuah orok-orok dihargai Rp 500. Padahal di pasaran Bali harganya bisa sampai Rp 3 ribu, bahkan Rp 5 ribu. Sementara di luar negeri dijual Rp 20 ribu.
Beberapa waktu lalu Solikin sempat ketir-ketir menyusul krisis global yang membuat perekonomian AS dan sejumlah negara Eropa ambruk. Beruntung kekhawatiran Solikin tak terjadi. Pesanan tetap mengalir. "Modalnya kepercayaan, itu saja," tutunya. Orok-orok, walau produk kampung, ternyata mampu 'mengalahkan' krisis global. (*)

Kelud Milik Siapa?



Oleh: Marlin (blogblitar.blogspot.com)

BAK putri jelita, Gunung Kelud saat ini diperebutkan 'dua pangeran' yang kasmaran setengah mati. 'Dua pangeran' itu adalah Pemkab Blitar dan Pemkab Kediri. Itu terjadi karena Kelud berada di perbatasan antara Kabupaten Kediri dan Blitar, atau sekitar 27 km sebelah timur Kota Kediri.

Sejatinya yang jadi pangkal rebutan bukan cuma itu. Andai Kelud tidak menghasilkan apa-apa (baca: Pendapatan Asli Daerah/PAD), musykil Blitar dan Kediri gegeran terus. Nyatanya, gunung setinggi 1.731 dpl itu menyumbang PAD ratusan juta rupiah per tahun bagi Pemkab Kediri. Tak heran bila Blitar ikut tergiur, apalagi secara geografis, gunung ini mestinya memang dimiliki bersama.

Setelah memutuskan membuka akses baru dari kawasan Blitar menuju Kelud, Pemkab Blitar berencana menghadirkan badan geologi untuk menjelaskan status wilayah Kelud. "Selama ini Kediri dan Blitar sama-sama mengklaim jika Kelud masuk wilayah masing-masing. Harus ada kepastian yang jelas dari badan geologi untuk membuat pengukuran lagi," ujar Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kab Blitar, Dahlan Faturahman, akhir Februari 2008.

Siapa yang nantinya terbukti paling berhak memiliki Kelud? Kita tunggu saja. Yang terang, Pemkab Blitar bakal mengucurkan anggaran Rp 5,4 miliar untuk membuka jalur baru menuju kawah. Jalan sepanjang 5 km tersebut akan menembus kawasan hutan milik Perhutani menuju salah satu bukit di atas kubah lava.

Jalan tembus tersebut melalui Desa Tulungrejo, Kecamatan Gandusari, menuju kawah. Nantinya masyarakat yang melalui jalur itu akan melihat Kelud seperti Danau Toba karena dilihat dari atas. Pemandangan itu akan berbeda dengan pengunjung yang masuk dari jalur Kediri, di Kecamatan Ngancar yang akan mendapatkan pemandangan kubah lava dari bawah. "Bulan Maret pembukaan jalur itu akan dimulai. Masyarakat bisa memilih lewat Blitar atau Kediri untuk menikmati Kelud," ungkap Dahlan.

Tapi Pemkab Kediri tak mau kalah. Diam-diam mereka juga menyiapkan sejumlah dokumen yang menunjukkan 'kepemilikan' Kelud. Sayang, para pejabat Kediri belum bersedia menyebutkan dokumen dan bukti otentik apa yang menjelaskan jika Kelud--yang letusannya telah memakan korban lebih dari 15 ribu jiwa sejak abad 15--memang masuk wilayah mereka.

"Kami meyakini Kelud sebagai wilayah Kediri tidak asal-asalan. Semuanya ada buktinya yang kuat dan bisa dipertanggungjawabkan," tegas Kabag Humas Pemkab Kediri, Sigit Raharjo. Namun demikian, ia berharap ada kesepakatan dan kompromi yang bagus dengan Pemkab Blitar dalam pengelolaan wisata alam tersebut.

Seperti halnya Blitar, selama ini Kediri tidak main-main dalam mengelola wisata alam itu. Miliaran rupiah telah mereka gelontorkan untuk membangun akses jalan dan perbaikan danau kawah yang kini berubah menjadi kubah lava. Bahkan Kediri masih getol mendirikan kolam renang dan gardu pandang baru untuk memanjakan wisatawan.
Bagi kita, warga Blitar, rasanya tidak perlu ikut senewen memikirkan siapa yang paling berhak mengelola Kelud. Yang penting penting akses menuju ke sana dipermudah, karcis masuk dipermurah, fasilitasnya terus ditambah, sehingga kita yang lagi berlibur bisa tertawa renyah. Kan begitu? (*)

Senin, 27 Oktober 2008

Chin Chin yang Sederhana


Oleh:Marlin

ADA anggapan, meningkatnya kekayaan seseorang berbanding lurus dengan tingkat kepongahannya. Orang kaya acap kali pongah, sedangkan yang miskin (biasanya) jujur dan sederhana. Namun Trisulowati alias Chin Chin adalah perkecualian. Perempuan asli Blitar ini dari dulu tetap bersahaja, baik tutur kata maupun penampilannya.

Padahal dia adalah perancang sekaligus pemilik The Empire Palace, sebuah bangunan baru supermegah bergaya Eropa di Jl Blauran, Surabaya. Konon, pembangunan Empire Palace menghabiskan dana hingga Rp 500 miliar rupiah.

"Saya ini bukan siapa-siapa. Latar belakang keluarga juga tidak ada yang istimewa. Saya bukan keluarga konglomerat. Tapi justru karena bukan siapa-siapa itulah, saya ingin memberikan sesuatu yang berharga buat masyarakat Surabaya," tutur Chin Chin saat ditanya motivasinya membangun Empire Palace.

Kala menghadiri acara halal bihalal alumni SMAN I Blitar di Rumah Makan Biyung, Surabaya, 19 Oktober 2008 lalu, Chin Chin mengenakan jins belel dipadu baju putih, dan bersandal jepit. Sama sekali tak tampak bahwa dia adalah arsitek hebat, presdir PT Blauran Cahayamulia.

Tampilan apa adanya itu yang membuat Chin Chin jadi bahan gojlokan Prof dr Boediwarsono SpPD-KHOM, yang siang itu bertindak sebagai MC sekaligus 'pelawak'. "Jins murahan, baju dari kain mori, terus sandalan jepit. Sampeyan itu kayaknya kok nggak cocok jadi orang kaya ya," gojlok profesor yang mengklaim sebagai duplikatnya Elvis Presley itu.

Tak mau kalah, di akhir tawanya Chin Chin pun menjawab lugas, "Ya justru dengan begini ini saya bisa kaya prof." Jawaban yang membuat seluruh undangan tertawa. Chin Chin ternyata mampu mengimbangi gayak kocak Pror Boediwarsono. Dia baru berubah serius saat diminta membeber resep suksenya selama ini. "Yang penting kita harus yakin bisa. Apapun yang kita inginkan, kalau kita yakin bisa, berarti 90 persen akan kesampaian," tuturnya, kali ini disambut tepuk tangan para undangan.

Sosok Chin Chin tak beda jauh dengan Agus Suhendro, kakaknya yang juga teman seangkatanku saat SMA. Pintar, sederhana, murah senyum, dan tak pernah membeda-bedakan teman. Begitulah Agus. Meski tak pernah satu kelas, Agus cukup akrab denganku karena sama-sama naik sepeda pancal saat berangkat-pulang sekolah. Kebetulan rumahnya satu jurusan denganku. Kini Agus jadi kontraktor sukses di Surabaya, sebagaimana sang adik.

Kembali ke Chin Chin, siang itu dia tak cuma menyokong dana dan kue, tapi juga suara. Mengaku tak pernah belajar menyanyi, toh lagu Sepanjang Jalan Kenangan yang dipopulerkan Tetty Kadi mampu dia bawakan dengan apik. "Hujan yang rintik-rintik, di awal bulan itu, menambah nikmatnya malam syahdu," syair ini lembut mengalun dari bibirnya. (*)

Sepakbola Beton

Oleh: Marlin

SUDAH dua tahun ini terminal MPU di sebelah barat Pasar Legi, Blitar, mangkrak. Lahan kosong beraspal ini sehari-hari dijadikan tempat menggelar dagangan oleh para penjual sayur-mayur. Tapi itu hanya di sisi timur. Sementara lahan di sisi barat tetap kosong. 

Kemana MPU-MPU yang harusnya mangkal di sana? Itu yang jadi masalah. Para sopir rupanya lebih suka mangkal di sebelah utara pasar atau di Jl Krantil, bukan di dalam terminal. "Ya mau bagaimana lagi, penumpang banyak yang nyegat di sini. Saya mau-mau saja pindah ke dalam (terminal), asalkan teman-teman yang lain kompak," begitu alasan seorang sopir MPU.

Tapi ada fungsinya juga lahan itu dibiarkan kosong, terutama bagi anak-anak kecil yang tinggal di sekitar Pasar Legi. Tiap sore mereka bisa main bola sepuasnya. Tak perlu harus jauh-jauh ke alun-alun. Seperti sore itu, delapan anak terbagi menjadi dua tim. Mereka saling berhadapan di lapangan beton yang membujur arah timur-barat.

Permainan baru selesai begitu adzan Maghrib berkumandang. "Tiap sore Mas. Kalau libur yang main pagi," aku seorang bocah bercelana kolor, bertelanjang dada, tanpa sepatu, kepadaku. Lahan kosong di barat Pasar Legi itu dulunya adalah Terminal Blitar. Karena luasnya tidak memadai dan dianggap sudah tidak mampu menampung arus keluar-masuk bus antarkota, terminal itupun dipindah ke Jl Kenari--namanya Terminal Patria.

Bagiku, terminal lama itu menyimpan secuil kenangan. Saat masih kuliah, di terminal itulah biasanya aku mencari bus yang akan mengantarku ke Surabaya. Kebetulan orangtuaku punya kios di Pasar Legi. Jadi, setelah minta uang bulanan ke ibu, biasanya aku jalan kaki lewat tengah pasar menuju terminal.

Kadangkala aku bisa ketemu Sujiono di terminal. "Berangkat lagi Lin?" sapanya setiap ketemu aku di terminal. Sujiono adalah teman SMA-ku. Kendala ekonomi membuatnya tidak mampu menjejak bangku kuliah. Bahkan, seingatku, dia tidak pernah lulus SMA. Sujiono harus menafkahi ibunya yang sudah tua dengan menjadi calo penumpang. 

Setelah lulus kuliah dan jarang pulang ke Blitar, aku tak tahu lagi bagaimana kabar Sujiono. Masih jadi calo penumpangkah kawanku yang juga seorang petinju itu? Mudah-mudahan tidak. Aku yakin, dengan fisik kuat dan usia yang masih muda, dia bisa mendapatkan pekerjaan yang lebih baik. (*)

Yuda Diculik Wewe Gombel?

Oleh: Marlin

UNTUK anak seusianya, keberanian Yuda terbilang berlebih. Baru kelas III SD, tetanggaku di Kauman, Blitar, ini suka bepergian ke mana-mana dengan berjalan kaki. Bila musim 17 Agustusan tiba, ketika anak-anak seusianya hanya berani mengikuti satu lomba, Yuda tidak.

Mulai lomba lari kelereng, ketangkasan sepeda, balap karung, hingga balap egrang, semua dia ikuti. Dan, hebatnya, bocah yang suka bertelanjang dada ini selalu juara--entah juara I, II, atau III. Itu saja tidak cukup. Agar peralatan sekolahnya bertambah (hadiah lomba biasanya berupa buku tulis, pensil warna, dll), Yuda 'menjajah' lomba anak-anak sampai ke luar desa. Hari ini di Kauman, besok di Sukorejo, lusa ke Dawuhan, dan seterusnya.
Yuda kecil jarang sekali nangis, kecuali saat bertengkar dengan kelima kakaknya, atau sang bapak. Yang jadi pangkal masalah seringnya uang saku sekolah yang kurang--tentu saja menurut ukurannya. Bila sudah begitu, biasanya Yuda berangkat sekolah sambil nangis.
 
Pernah, entah karena apa, pada suatu pagi Yuda berangkat sambil mengumpat sang bapak; "Dadi anake Pardi ora puenuuaaakkk (jadi anaknya Pardi tidak uenak)!!!!" Pardi, sang bapak, pun mengejar di belakangnya. Tentu saja tidak bakal terkejar, karena Yuda gesit bukan main.
Nah, suatu hari di awal tahun 80-an, hingga pukul 24.00 WIB Yuda tidak pulang ke rumah. Keluarganya kalang kabut. Ibunya, Jumini, tak henti-henti menangis. Hingga esok hari, batang hidung Yuda belum juga kelihatan. Sore hari, dalam sebuah rapat keluarga, Yuda disimpulkan telah diculik Wewe Gombel--hantu dalam tradisi Jawa yang suka menculik anak, tapi tidak untuk dicelakai.
Menurut kepercayaan masyarakat Jawa, anak yang diculik Wewe Gombel hanya bisa ditemukan dengan cara memainkan musik alat-alat dapur. Penjelasanya begini; si korban penculikan biasanya selalu dalam gendongan Wewe Gombel. Kalaupun ditinggal sesaat, si anak akan diletakkan di cabang pohon yang tinggi, hingga tidak mungkin turun sendiri.
Konon, bila mendengar tetabuhan musik alat-alat dapur, Wewe Gombel selalu menari kegirangan. Karena itu si anak akan terjatuh dari gendongan dan segera saja bisa dilihat dengan mata telanjang. Mengapa keluarga Pardi berkesimpulan Yuda diculik Wewe Gombel? Masalanya, kakak Yuda yang bernama Gandi pernah mengalami hal sama. Itu terjadi saat mereka masih tinggal di Desa Sumberjo, beberapa km di utara Kauman. Hanya saja Gandi berhasil lolos sebelum dicari keluarganya. 
Singkat cerita, malam itu sekitar pukul 22.00 WIB, Pardi dan para kerabatnya (sekitar 10 orang) menyusuri Kali Lahar yang berada di belakang perkampungan. Masing-masing membawa alat dapur; wajan, ember, irus, sothil, ember, dll. Alat-alat dapur itu dipukulkan satu sama lain hingga terdengarlah bunyi-bunyian tak berirama. Dua lampu petromaks menerangi arak-arakan aneh ini.
Pencarian dilakukan sampai menjelang pagi, tapi hasilnya nihil. Jejak Yuda tak terlacak. Jumini makin keras tangisnya, membuat kegelisahan Pardi menumpuk. "Yo wis, mengko wengi digoleki meneh (ya sudah, nanti malam dicari lagi)," kata Pardi menenangkan istrinya. 
Petang hari, ketika Pardi dan keluarganya hendak memulai pencarian lagi, Yuda tiba-tiba nongol di depan rumah. Tanpa tangis, hanya senyum cengengesan. Jumini segera menyambarnya. Setelah tenang, Yuda diberondong pertanyaan yang intinya sama; ke mana selama ini dia 'bersembunyi'.
Dengan tenang Yuda bercerita, malam itu dia bermain-main di depan rumah Koh Singke, pengusaha transportasi yang memiliki beberapa truk. Di salah satu truk Yuda melihat tumpukan sabun. Tanpa ragu Yuda naik ke bak truk untuk mengambilnya. 
Sial, ketika dia berada di atas truk, sang sopir menjalankan kendaraan itu. Yuda pun terbawa dan baru bisa pulang sehari kemudian. Saat ini Yuda telah beristri dan dikaruniai satu anak. Dia menjadi satpam sebuah hotel di pusat Kota Blitar. (*)

Kamis, 23 Oktober 2008

Tatik si Pelatih Bangsa

Oleh: Marlin 

SEBUT saja namanya Tatik (aslinya Wr). Umur kira-kira 45 tahun, rambut keriting, postur tinggi ramping. Dia tinggal di sebuah rumah kecil bersama adik dan para keponakannya. Rumah itu berada di sebuah gang di Jalan “W”. Saat muda, kata para tetanggaku, wajah Tatik mirip aktris sinetron Rachel Maryam. "Karena itu pelangganya banyak. Tapi tidak ada yang nyanthol (jadi suaminya)," ujar Totok, kawanku yang cukup akrab dengan Tatik.

Pelanggan? Ya, Tatik dulunya memang berprofesi sebagai pekerja seks komersial (PSK). Sejumlah lokalisasi di Blitar dan sekitarnya pernah dia huni, sebelum akhirnya pulang kampung ke Desa Kauman, beberapa tahun lalu. Perempuan yang betah melajang itu sempat membina hubungan serius dengan sejumlah lelaki, di antaranya St, Kb, dan terakhir Kr.

Dengan ketiganya Tatik nyaris naik ke pelaminan, tapi entah karena apa, angan-angan membina rumah tangga itu kandas semua. Sedihkah Tatik? Jelas tidak. Pengalaman sebagai PSK membuat mentalnya tangguh, sehingga patah hati karena laki-laki tidak terdaftar dalam kamus hidupnya.

Justru nasib Kr yang membuat para tetanggaku mengelus dada. Sejak terlilit utang warisan pekerjaanya di Surabaya, Kr berubah linglung. Tiap hari kerjanya duduk melamun di depan rumah, atau keliling dari gang ke gang sambil senyam-senyum. 'Seragam' yang dikenakannya tak pernah berubah; celana kolor dan bertelanjang dada.

Anak bekas jagal di Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Blitar itu tidak kenal lagi dengan teman-temannya di kampung. Siapa saja yang berpapasan dengannya pasti disalami dan disapa dengan bahasa Jawa kromo inggil. "Dos pundi kabaripun Mas? Sak niki manggon ten pundi?" begitu Kr pernah menyapaku.

Sementara Tatik, meski mengaku telah insyaf, bukan berarti sifat nakalnya telah hilang. Sebaliknya, sejak kembali ke kampung halaman, dia terus menebar jerat. Hampir semua laki-laki di kampungku yang dikenal bengal--pekerjaan tidak jelas, suka mabuk-mabukan dan judi--pernah tidur dengannya. Di antaranya Nn, Tk, Sg, Nr, Sgn, Pr, dan tentu saja St, Kb, serta Kr.
Tatik hanya gagal menjerat Tw, kawan akrabku. Karena itu dengan blak-blakan dia pernah berkata pada Tw, "Le (dia memanggil Tw dengan le atau tole), hampir semua laki-laki di kampung ini pernah tidur denganku. Hanya kamu yang belum." Temanku itu pun menjawab enteng, "Gampang Yu (mbakyu), kapan-kapan saja."

Walau terkenal di kampungku, praktis Tatik tidak tahu siapa aku. Bahkan namaku pun, saya yakin, dia tidak tahu. Padahal jarak rumahku dan rumahnya hanya sekitar 200 meter (untuk ukuran orang kampung sangatlah dekat). Maklum, selain umur kami beda jauh, sejak tahun 1988 aku telah meninggalkan Kauman untuk meneruskan sekolah di Surabaya.

Setelah lulus, aku kerja di Bali selama enam tahun, dan sejak 2002 pindah ke Surabaya sampai sekarang. Lebaran dua tahun lalu, tak sengaja aku bertemu Tatik di rumah seorang teman kecilku, Yanto. Seperti biasa, melihat lelaki asing di depan matanya, Tatik sepertinya penasaran.
Betul juga. Esok harinya Yanto datang ke rumahku. Dia ceritakan tentang Tatik yang berusaha mencari tahu siapa aku. "Dia tanya namamu siapa dan rumahmu di mana," kata Yanto, membuatku tertawa terpingkal-pingkal. Ah Tatik, aku tak tahu lagi siapa yang jadi pacarnya sekarang. Yang pasti, karena suka tidur dengan anak-anak muda, di kampungku dia dikenal dengan julukan 'pelatih bangsa'. Ya.., Tatik si 'pelatih bangsa'.*

Senin, 20 Oktober 2008

Kuntul di Pohon Beringin Kota Blitar

Oleh: Savitri
Kota Blitar yang sering kukunjungi masih menyisakan banyak situs hijau yang tidak dimiliki kota-kota lain di Jawa, seperti Surabaya dan Jakarta. Di antara situs hijau di kota ini yang kusukai di Kota ini adalah pohon-pohon beringin masih dibiarkan tumbuh, berkembang, dan menjadi dewasa, di jalan-jalan utama di kota ini. Pohon-pohon itu penuh akar-akar yang di mataku sangat eksotik. Lokasi pohon beringin yang kusukai adalah di Alun-alun Kota Blitar. Di lingkungan ini, tidak cuma ada satu beringin, namun lebih dari sepuluh. Empat di antaranya berdiam di pinggir jalan utama, tidak di dalam pagar alun-alun.
Aku benar-benar merasa homey bila melintasi pohon-pohon beringin di alun-alun. Menurutku, seharusnya, begitulah sebuah kota dikelola. Tetap memperhitungkan keberadaan pohon-pohon. Tidak mengalahkannya demi kepentingan manusia yang seringkali tidak berpikir secara berkelanjutan.
Pohon-pohon beringin di alun-alun merupakan rumah yang nyaman bagi para burung. Yang sangat banyak berteduh di sini adalah para serangga. Banyak pula burung yang kata orang Jawa adalah kuntul (burung bangau). Kuntul-kuntul ini, dengan jumlah, mungkin ribuan, menjelang maghrib pulang berbondong-bondong. Yang terbanyak dari arah barat. Sungguh pemandangan yang elok. Saking banyaknya burung-burung yang bermukim di pohon beringin dekat alun-alun, hidung kita akan merespon bau alami burung dan kotorannya. Aku tidak terganggu dengan bau burung dan kotorannya. Di Surabaya, aku justru jarang mencium karunia Allah berupa bau burung. Yang kucium di jalanan di kota pahlawan adalah sisa asap kendaraan yang sangat menyesakkan.
Maka, bila aku melintasi pohon-pohon beringin dan mencium bau khas burung dan kotorannya, seringkali aku disekap perasaan takjub. Oh ya, bila kita melongok ke atas, ke arah daun-daun beringin, sebagian daun itu tampak berwarna pucat. Tidak hijau. Ya, daun yang pucat tersebut pastinya pernah atau sering menjadi tempat kotoran burung-burung. Kotoran-kotoran itu bahkan tidak saja hinggap di daun yang lebat, ranting, atau batang dan sulur-sulur beringin, namun juga sampai ke jalan-jalan. Untungnya, jalan-jalan yang terkena tai burung tersebut selalu lekas dibersihkan oleh petugas sehingga tidak sampai terkesan jorok.
Pohon-pohon beringin itu, entah berapa kini usianya, kuharap tetap berdiam di situ, tidak ditebangi atas nama pembangunan. Kuharap beringin-beringin itu tetap jadi tempat yang nyaman bagi para burung. Para burung tidak risau karena tempat tinggal mereka hilang ataupun mereka terancam bedil-bedil perusak lingkungan.
Sungguh, sekali lagi aku katakan, aku nyaman berada di Kota Blitar, salah satunya karena beringin-beringinnya yang melindungi hewan-hewan yang kini semakin langka, seperti burung kuntul. Di seputaran Surabaya, burung kuntul ditembaki. Malahan, pernah ada restoran burung kuntul yang kini, entah kenapa telah tutup.
Apa Kota Blitar masih senyaman sekarang bila nantinya pohon-pohon besarnya telah tiada.