Senin, 27 Oktober 2008

Sepakbola Beton

Oleh: Marlin

SUDAH dua tahun ini terminal MPU di sebelah barat Pasar Legi, Blitar, mangkrak. Lahan kosong beraspal ini sehari-hari dijadikan tempat menggelar dagangan oleh para penjual sayur-mayur. Tapi itu hanya di sisi timur. Sementara lahan di sisi barat tetap kosong. 

Kemana MPU-MPU yang harusnya mangkal di sana? Itu yang jadi masalah. Para sopir rupanya lebih suka mangkal di sebelah utara pasar atau di Jl Krantil, bukan di dalam terminal. "Ya mau bagaimana lagi, penumpang banyak yang nyegat di sini. Saya mau-mau saja pindah ke dalam (terminal), asalkan teman-teman yang lain kompak," begitu alasan seorang sopir MPU.

Tapi ada fungsinya juga lahan itu dibiarkan kosong, terutama bagi anak-anak kecil yang tinggal di sekitar Pasar Legi. Tiap sore mereka bisa main bola sepuasnya. Tak perlu harus jauh-jauh ke alun-alun. Seperti sore itu, delapan anak terbagi menjadi dua tim. Mereka saling berhadapan di lapangan beton yang membujur arah timur-barat.

Permainan baru selesai begitu adzan Maghrib berkumandang. "Tiap sore Mas. Kalau libur yang main pagi," aku seorang bocah bercelana kolor, bertelanjang dada, tanpa sepatu, kepadaku. Lahan kosong di barat Pasar Legi itu dulunya adalah Terminal Blitar. Karena luasnya tidak memadai dan dianggap sudah tidak mampu menampung arus keluar-masuk bus antarkota, terminal itupun dipindah ke Jl Kenari--namanya Terminal Patria.

Bagiku, terminal lama itu menyimpan secuil kenangan. Saat masih kuliah, di terminal itulah biasanya aku mencari bus yang akan mengantarku ke Surabaya. Kebetulan orangtuaku punya kios di Pasar Legi. Jadi, setelah minta uang bulanan ke ibu, biasanya aku jalan kaki lewat tengah pasar menuju terminal.

Kadangkala aku bisa ketemu Sujiono di terminal. "Berangkat lagi Lin?" sapanya setiap ketemu aku di terminal. Sujiono adalah teman SMA-ku. Kendala ekonomi membuatnya tidak mampu menjejak bangku kuliah. Bahkan, seingatku, dia tidak pernah lulus SMA. Sujiono harus menafkahi ibunya yang sudah tua dengan menjadi calo penumpang. 

Setelah lulus kuliah dan jarang pulang ke Blitar, aku tak tahu lagi bagaimana kabar Sujiono. Masih jadi calo penumpangkah kawanku yang juga seorang petinju itu? Mudah-mudahan tidak. Aku yakin, dengan fisik kuat dan usia yang masih muda, dia bisa mendapatkan pekerjaan yang lebih baik. (*)

Tidak ada komentar: