Oleh: Marlin
UNTUK anak seusianya, keberanian Yuda terbilang berlebih. Baru kelas III SD, tetanggaku di Kauman, Blitar, ini suka bepergian ke mana-mana dengan berjalan kaki. Bila musim 17 Agustusan tiba, ketika anak-anak seusianya hanya berani mengikuti satu lomba, Yuda tidak.
Mulai lomba lari kelereng, ketangkasan sepeda, balap karung, hingga balap egrang, semua dia ikuti. Dan, hebatnya, bocah yang suka bertelanjang dada ini selalu juara--entah juara I, II, atau III. Itu saja tidak cukup. Agar peralatan sekolahnya bertambah (hadiah lomba biasanya berupa buku tulis, pensil warna, dll), Yuda 'menjajah' lomba anak-anak sampai ke luar desa. Hari ini di Kauman, besok di Sukorejo, lusa ke Dawuhan, dan seterusnya.
Yuda kecil jarang sekali nangis, kecuali saat bertengkar dengan kelima kakaknya, atau sang bapak. Yang jadi pangkal masalah seringnya uang saku sekolah yang kurang--tentu saja menurut ukurannya. Bila sudah begitu, biasanya Yuda berangkat sekolah sambil nangis.
Pernah, entah karena apa, pada suatu pagi Yuda berangkat sambil mengumpat sang bapak; "Dadi anake Pardi ora puenuuaaakkk (jadi anaknya Pardi tidak uenak)!!!!" Pardi, sang bapak, pun mengejar di belakangnya. Tentu saja tidak bakal terkejar, karena Yuda gesit bukan main.
Nah, suatu hari di awal tahun 80-an, hingga pukul 24.00 WIB Yuda tidak pulang ke rumah. Keluarganya kalang kabut. Ibunya, Jumini, tak henti-henti menangis. Hingga esok hari, batang hidung Yuda belum juga kelihatan. Sore hari, dalam sebuah rapat keluarga, Yuda disimpulkan telah diculik Wewe Gombel--hantu dalam tradisi Jawa yang suka menculik anak, tapi tidak untuk dicelakai.
Menurut kepercayaan masyarakat Jawa, anak yang diculik Wewe Gombel hanya bisa ditemukan dengan cara memainkan musik alat-alat dapur. Penjelasanya begini; si korban penculikan biasanya selalu dalam gendongan Wewe Gombel. Kalaupun ditinggal sesaat, si anak akan diletakkan di cabang pohon yang tinggi, hingga tidak mungkin turun sendiri.
Konon, bila mendengar tetabuhan musik alat-alat dapur, Wewe Gombel selalu menari kegirangan. Karena itu si anak akan terjatuh dari gendongan dan segera saja bisa dilihat dengan mata telanjang. Mengapa keluarga Pardi berkesimpulan Yuda diculik Wewe Gombel? Masalanya, kakak Yuda yang bernama Gandi pernah mengalami hal sama. Itu terjadi saat mereka masih tinggal di Desa Sumberjo, beberapa km di utara Kauman. Hanya saja Gandi berhasil lolos sebelum dicari keluarganya.
Singkat cerita, malam itu sekitar pukul 22.00 WIB, Pardi dan para kerabatnya (sekitar 10 orang) menyusuri Kali Lahar yang berada di belakang perkampungan. Masing-masing membawa alat dapur; wajan, ember, irus, sothil, ember, dll. Alat-alat dapur itu dipukulkan satu sama lain hingga terdengarlah bunyi-bunyian tak berirama. Dua lampu petromaks menerangi arak-arakan aneh ini.
Pencarian dilakukan sampai menjelang pagi, tapi hasilnya nihil. Jejak Yuda tak terlacak. Jumini makin keras tangisnya, membuat kegelisahan Pardi menumpuk. "Yo wis, mengko wengi digoleki meneh (ya sudah, nanti malam dicari lagi)," kata Pardi menenangkan istrinya.
Petang hari, ketika Pardi dan keluarganya hendak memulai pencarian lagi, Yuda tiba-tiba nongol di depan rumah. Tanpa tangis, hanya senyum cengengesan. Jumini segera menyambarnya. Setelah tenang, Yuda diberondong pertanyaan yang intinya sama; ke mana selama ini dia 'bersembunyi'.
Dengan tenang Yuda bercerita, malam itu dia bermain-main di depan rumah Koh Singke, pengusaha transportasi yang memiliki beberapa truk. Di salah satu truk Yuda melihat tumpukan sabun. Tanpa ragu Yuda naik ke bak truk untuk mengambilnya.
Sial, ketika dia berada di atas truk, sang sopir menjalankan kendaraan itu. Yuda pun terbawa dan baru bisa pulang sehari kemudian. Saat ini Yuda telah beristri dan dikaruniai satu anak. Dia menjadi satpam sebuah hotel di pusat Kota Blitar. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar